nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Cerpen Milda Ini , Rejang Be'ikuak Serawai A'ngit


Antologi Kumpulan Cerpen FLP Sesumatera

Di dalam buku antologi ini, saya mengangkat sebuah cerpen yang menceritakan sebuah kejadian yang menjadi salah satu dasar alasan dan mengapa hal itu dilakukan. Bahkan sampai sekarang masih banyak dari kedua suku tersebut. Yaitu Rejang dan Serawai yang merupakan suku terbesar yang terdapat di Bengkulu masih saling bermusuhan.

Meski sekarang sudah banyak juga terjadi ikatan perkawinan di antara kedua suku tersebut namun masih banyak juga masyarakat Bengkulu terutama generasi sepuh yang masih memegang dan menyimpan dendam tersebut. sehingga masih kuat pelarangan akan ikatan perkawinan di antara mereka.

Masih bingung apa maksud saya, hehehe. Tentu saja kalian kan belum membaca ceritanya. Jadi sedikit belum nyambung ya. Singkatnya cerpen saya di buku tersebut mengangkat kisah permusuhan dua suku terbesar yang ada di Bengkulu. Mungkin banyak yang belum tahu ya. Saya mencoba untuk menuliskannya dan menceritakannya kepada kalian semua, terutama generasi muda Bengkulu. Pengen tau kan ceritanya seperti apa?


Bagi teman-teman yang belum sempat beli bukunya dan membacanya, ini saya ceritakan kembali cerpen tersebut. Silakan dinikmati dan dibaca. Jika ada  masukannya, kritik atau saran saya terima dengan lapang dada. Semoga itu semua akan bermanfaat buat kebaikan cerpen saya selanjutnya .

Kepada yang sudah sempat membaca dan memberikan komentar saya ucapkan terima kasih ya. Salam 



FLP Bengkulu
Rejang  Bei’kuak  Serawai  A’ngit 
Milda Ini

Kisah yang akan aku ceritakan kali adalah mengenai suku Rejang . Salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu. Yang merupakan suku mayoritas yang tinggal di daerah Bengkulu. Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang , Curup dan sampai di tepi sungai Ulu Musi berbatasan dengan  Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak menempati , kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang dan Kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia.
Kemudian aku juga akan menceritakan tentang suku kedua terbesar di Bengkulu yaitu Suku Serawai. Mereka Sebagian besar  berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan  yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Saat ini banyak dari mereka yang menetap di wilayah seperti ke Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Suku Rejang pada awalnya memang sangat primitif sehingga sulit untuk menerima masukan dan pengaruh dari luar. Hal ini membuat perkembangan masyarakat suku Rejang sulit berkembang. Namun lambat laun, mereka akhirnya juga berbaur dan bisa  mengalami perubahan dan perkembangan. Ada yang menjadi Pejabat teras, Guru, Dosen, Dokter dan profesi lainnya. Merekapun semakin banyak yang muncul di ranah publik.
Kedua suku tersebut telah berkembang dan mengisi berbagai lini kehidupan Provinsi Bengkulu. Mulai dari pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial budaya.Mereka sudah banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga untuk memajukan Bengkulu , yang juga biasa di sapa Bumi Rafflesia.Banyak juga keturunan kedua suku tersebut yang memiliki berbagai prestasi, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional.
Namun ceritaku kali ini bukan akan membicarakan tentang kesuksesan kedua suku tersebut . Tapi mengenai pernikahan Raifah dan Sebong yang selalu ditunda karena adat-istiadat dan mitos kedua suku tersebut. Raifah si Serawai dan Sebong si Rejang. Sekarang bukan saja ditunda bahkan terancam gagal untuk dilaksanakan. Berikut akan ku gulirkan cerita ini kepada engkau.
Ini adalah kali kedua di seperempat tahun ini, Raifah  kembali membicarakan keinginannya untuk menikah. Walau kemungkinan jawaban dari Bak dan Mak sudah bisa ditebak, namun Raifah belum putus asa. Sungguh,  Raifah mau menikah dan mau menikahnya hanya dengan calon pilihanya. Bukan orang lain. Siapa tahu kali ini mereka luluh mendengar permohonanku. Sudah berhari Raifah melakukan puasa untuk memendam rasa ini, Raifah takut tergelincir dalam lobang zina dan dosa.
Mereka sedang asik ngobrol, disela pembicaraan itu. Raifah mencoba untuk bertanya tentang sesuatu yang sudah lama Raifah pendam. Semoga kali ini ada titik terang.
“Amun tengah tahun ini aku nikah, lukmano Bak ?” Tatapanku mengujam kearah  Emak memohon dukungan.
Tidak ada jawaban dari mereka, aku menelan ludah getir. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Ya,ujung bulan. Buntu karena persedian uang habis membuat pikiran jadi suntuk, sedangkan masa gajian masih seminggu lagi. Uh, kok aku yang kena imbasnya! Aku hampir berdiri, hendak masuk kamar. Merasa perkataanku tadi sangat sulit untuk dijawab sekarang.
Nga sapo?Apo masia nga bujang Rejang tu?”
Aku menyurut ke sumber suara dan terperanjat. Terdengar tinggi suara Bak. Aku  diam dan mengangguk.
Amun kaba ndak  nikah bukan nga lanang itu, kami restui. Bulan depanpun jadi kita pestakan!”
Ah, jawaban yang  sama untuk kesekiankalinya. Sudah bisa dijengkali, namun apa daya. Aku ingin menikah dan tidak mungkin hanya karena dia suku Rejang aku membatalkan niat menikah ini. Bukankah Rasulullah berkata, Jika datang (melamar) kepadamu orang yang engkau senangi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu). Jika kamu tidak menerima (lamaran)-nya niscaya terjadi malapetaka di bumi dan kerusakan yang luas.
Aku takut terkena malapetaka dengan menolak pinangan itu. Menolak seseorang yang baik.
Memang aku sudah pernah membicarakan hal ini dengan mereka pada  waktu Semendau meminta persetujuan Bak dan Emak untuk menikah. Padahal itu hanya berasan awal. Aku dan calon suamiku masing-masing meminta persetujuan orang tua kami sebelum akhirnya dilakukan  Rasan  Semendau Nidau  Belapik  Emas karena acara pesta perkawinanya akan dilaksanakan di rumahku, mempelai wanita.
#####
Adalah  Sebong Sinarok   calon suamiku  adalah seorang keturunan Rejang, kedua orang tuanya memang asli keturunan Rejang dan tinggal di daerah Lebong. Namanya memang unik yang artinya anak laki-laki yang diharapkan. Mereka adalah keluarga petani yang sukses, sehingga bisa menyekolahkan Sebong  hingga Pasca Sarjana. Sekarang  Sebong  bekerja satu kantor denganku, cuma beda ruangan saja. Kami tidak berpacaran, seperti kebanyakan pasangan lainnya. Kami hanya saling sapa dan mengenal lewat jalur kerjaan  dan kantor. Setelah kelar Tesisnya  Sebong melamarku. Dia lelaki yang soleh dan berkepribadian yang baik. Mapan dan tidak merokok. Sholat tak pernah tercecer. Banyak rekan sekantorku yang menginginkan  Sebong untuk  dijadikan suami atau menantu.Tapi  Sebong  memilih aku. 
Dengan pertimbangan yang matang akhirnya kuputuskan untuk menerima tawaran  Sebong  untuk menikah. Lantas kami menemui orang tua kami masing-masing. Bersama teman satu ruangan aku berkenalan dengan keluarga  Sebong  di Lebong. Semua berjalan lancar dan mereka menerima kehadiranku. Namun tiba giliran aku yang menyampaikan dan mengajak  Sebong  untuk mengenal keluargaku. Sandungan itu hadir, tanpa kami kira. Bak yang awalnya sangat semangat dengan Sebong  mendadak sakit gigi ketika Sebong  menceritakan garis keturunannya. Sebong  menyebut dirinya adalah Tunjang asli.  Ini bukan lontong tunjang ya , yang biasa dijual tapi, tun dan Rejang yang disingkat tunjang yang artinya orang Rejang.
“Hah , jemo Rejang? “ Mulut Bak seketika mengangga kaget.
Asoku nido aku restui hubungan kalian ni, Aku nido agam dengan jemo Rejang......” Bak meninggalkan ruang tamu tanpa penjelasan apapun kepada kami. Aku melirik kepada Mak yang duduk di sudut ruangan. Berharap Mak bisa menjelaskan apa yang menjadi alasan Bak tidak merestui keinginan kami.
Wajah Sebong pucat, ia memainkan jemarinya memompa kegalauan dan kecewa. Sebong ditolak mentah-mentah. Ucapan Bak barusan meninggalkan sesak dalam dada Sebong. 
“Apa Mak alasan Bak  menolak aku? Aku jadi bingung. Apakah aku  telah melakukan kesalahan. Apa ada tutur kataku yang khilaf?” tanya Sebong kebingungan.
“Bak memang idak senang dengan Tunjang  Bong!”
“Ngapo?”
“Cerita masa lalu nenek poyang dulu, sulit untuk disampaikan!”
Pelah Mak, jangan buat kami penasaran. Kami siap mendengarkan !” suaraku lirih.
“Yuliar!” terdengar lengkingan Bak dari dalam kamar. Mak bergegas mendatangi suara itu, takut terdengar ocehan yang disertai omelan.
“Lain kali saja Bong. Pulanglah dulu!”
Kami saling berpandangan bingung. Akhirnya aku menyarankan Sebong untuk pulang. Setelah menunggu hampir seperempat jam.
“Kita berdo’a saja semoga Allah SWT membuka pintu hati Bak. Niat kita kan baik, semoga ada kemudahan. Sebaiknya hal ini bisa kita pikirkan dan renungkan dulu sembari  bermuhasabah.”  Sebong  pamit 
#####
Dua hari sudah berlalu, aku tidak berani lagi menanyakan hal itu kepada Bak dan Mak. Terlihat gusar di wajah Mak. Dengan wanita terkasih itu aku sudah bercerita banyak tentang sosok Sebong, Mak setuju  dan sangat memuji akan Sebong.Tetapi Bak setelah kejadian itu belum ada  menyinggung hal itu lagi. Kamipun seperti sangat sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, tak ada waktu untuk ngobrol seperti yang biasa kami lakukan. Paling sering di sore hari menjelang senja, duduk bercerita di beranda sembari menunggu Maghrib. Biasanya selalu ada yang kami perbincangkan, mulai dari hal yang serius atau hanya sekedar senda gurau. Bak belakangan ini lebih sering berdiam di kamar. Bak sepertinya menghindar dariku.

Aku dan Sebong sudah sepakat untuk lost contact  dan tidak berdiskusi tentang pernikahan dulu, sampai waktunya tepat. Aku memutuskan untuk berlibur ke rumah nenek di Seluma. Dengan motor sekitar  empat puluh menit aku tiba di rumah nenek. Dusun  Semidang Alas , Seluma. Iya secara garis keturunan Nenek masih ada hubungan dengan Serunting Sakti  Poyang Suku Serawai yang berputera tujuh orang, salah satunya Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang sekarang termasuk marga Semidang Alas, Bengkulu Selatan. Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan  anak-anaknya inilah dianggap sebagai cikal - bakal suku Serawai yang tersebar di Bengkulu  dan daerah lainnya.
“Nek, Bak belum jugo merestui keinginan aku untuk nikah, kapan lagi Nek. Umur aku lah cukup. Tolonglah Nek kasih pengertian dengan Bak!” lirih suaraku, mengiringi obrolan selepas Isya.
 Nenek hanya berbaring lesu di pembaringan. Aku mengelus lembut kaki Nenek yang penuh keriput. Nenek sudah renta, namun masih kuat. Adat dusun dan tradisi lama yang membuat Nenek sehat. Makanan segar dan pengolahan yang jauh dari cara pengawetan, membuat Nenek masih bisa bertahan meski sudah tua Bangka. Semenit berikut.
“La mantap nian niat kaba Raifah? “
Nyelah Nek, aku takut dengan dosa kalau menunda terus!”
Amun Nenek setuju karno zaman sekaranglah maju , banyak informasi. Ngapo pulo dihalangi anak punyo niat baik dan Sebong itu jugo jelas keberadaannya. Belum tentu bisa dapat yang lain seperti Sebong. Tapi Bak kaba memang keras kepala, sulit untuk dibantah.”
“Jadi apo alasan Bak, Nek. Kalau sekiro bakal merugikan dan mendatangkan kemungkaran dengan adanya pernikahan ini, kami siap membatalkan. Tapi ‘nggut hari ini Bak belum ndak bebagi tahu. Akulah stress Nek memikirkan hal ini, Nido ado alasan aku ndak menolak Sebong itu.”
Nenek manggut- manggut. Aku tak paham, apa maksudnya. Menanti penjelasan Nenek bagai menunggu seribu tahun.
“Bak kaba meraso tesinggung nian dengan ulah jemo Rejang itu. Orang Rejang telah mempermalukan Nenek moyang Serawai.”
“Tesinggung , malu... dalam urusan apo Nek?” 
“Hah, masih diingat dan diperdebatkan  sampai sekarang Nek?”
Nenek menganguk....... 
“Tapi masalahnyo apo Nek, Bak belum becerito!”
“Bacalah Surat Ulu ini..” Nenek menyerahkan  kertas yang bertuliskan  seperti huruf  Kaganga. 
Aku menggeleng dan bingung, bagaimana cara membacanya ya !
“Di situ tetulis, tu apo nyo jadi alasan Bak kaba ndak nolak Sebong ..”Akhirnya nenek menceritakan semuanya kepadaku. 
Aku tidak bisa membaca aksara kaganga tersebut,  ada rasa geli mendengarkan cerita Nenek. Namun aku tidak bisa memaksa orang untuk memahami semua cerita itu. Penilaian orang pasti berbeda terutama Bak yang masih memegang prinsip itu. Aku mulai mengerti sekarang.
#######
Aku memberanikan diri menghadap Bak lagi. Walau , keputusannya tidak tapi aku ingin Bak memahami sesuatu yang seharusnya. Ajaran islam tidak mengajarkan dendam kesumat tanpa kesudahan seperti yang Bak berlakukan sekarang.
“Bak...” Aku duduk persis di sebelahnya. Bak  dingin. Aku menyapanya sekali lagi.
Apo Bak belum bisa merestui keinginan Raifah menikah dengan Sebong?” Hati-hati aku lontarkan kalimat itu, takut Bak marah.
“Aku sudah tahu alasan Bak tidak mau menerima  Tunjang! Nenek sudah menceritakan sebab musababnyo
Bak terperanjat, namun seketika kembali acuh.
Amun luk itu, ngapo kini kaba betanyo agi. Segalonyo la jelas! Jangan diributkan lagi, dalaklah jemo lain bae batan calon kaba, bukan jemo tunjang.”
Aku merangkul Bak, lelaki yang ditakdirkan sebagai Ayahku ini memang keras. Aku tak ingin Bak tersesat dalam pikiran sempitnya.
Iyo Bak, apo kalo aku menikah dengan orang lain akan mendapatkan sosok yang baik atau lebih dari Sebong. Allah saja menilai hambaNya dari akhlaknya bukan dari keturunannya.  Tidak baik menilai seseorang hanya dari keturunannya saja. Mungkin memang Sebong jodoh Raifah. Suku yang sama belum tentu menjamin kehidupan kita akan membaik. Banyak orang tunjang yang sukses dan baik Bak. Tapi kalau memang tidak bisa merestui biarlah aku menunda dulu keinginan menikah sampai Bak ketemu dengan orang Serawai yang tepat untuk Raifah.”
“Laju...?” sahut Bak
Maso Bak mendendam, mengorbankan aku dalam persoalan malu masa lalu itu! Apo Bak tidak ingin Raifah Bahagia.”
Lum pacak kini Fah? Bak masih perlu bepikir agi!”
“Raifah nunggu jodoh dari Bak , biarlah lama asal Bak senang dan merestui!”
Bak hanya terdiam, suasana yang paling aku sesali. Saling berdiam diri diantara orang-orang yang kita kenali. Aku tak ingin membahas dan larut dalam masalah pernikahan aku dan Sebong. Aku ingin memikirkan dan melakukan hal yang lain. Bukankah tadzim dengan orang tua juga merupakan kewajiban anak dan berpahala besar.
#######
Di kamar Raifah memeriksa kembali Surat Ulu yang diberikan nenek, tertulis di sana sebuah kisah masa lampau. Rejang yang telah mempermalukan suku Serawai, kisah itu dimulai pada saat bujang suku Rejang datang bertamu ke rumah seorang gadis Serawai. Saat itu ada yang melihat kalau bujang Rejang tersebut  memiliki ekor dibuntutnya , si gadis tidak percaya akan informasi yang disampaikan temannya. Hal itu sudah ditanyakan langsung oleh si gadis kepada si bujang, namun si bujang tak mau mengaku. Si gadis lantas merangkai akal. 
Jadi pada malam berikutnya ketika si bujang bertandang ke rumah si gadis. Waktu itu rumah orang Bengkulu berbentuk panggung dan lantainya terbuat dari susunan bambu yang berjejer. Pada susunan tersebut terdapat celah yang lumayan besar. Si bujang duduk di salah satu lantai dengan menggunakan kain sarung. Jadi dari bawah terlihatlah ekor si bujang, oleh teman yang melaporkan tadi ekor bujang tadi dibakarnya dengan obor sehingga tercium bau a’ngit seperti bau daging atau kulit yang tebakar. Gerombolan pemuda yang di bawah tadi tertawa-tawa sambil berteriak dasar si Rejang bei’kuak dan Serawai a’ingit. Sejak saat itu dua suku yang menetap di Bengkulu perang dingin, mereka tidak ada yang saling menyapa apalagi menikah. Gadis Serawai tadi sangat malu dan sangat terhina dengan perlakukan teman-temannya dan tidak mau menerima si bujang Rejang karena merasa tidak jujur dengan ekor yang dia punya. Bujang Rejang telah berbohong dan mempermalukan si gadis Serawai.
Itu hanya sepenggal ceritaku, tentang Suku Serawai dan Rejang, Namun sekarang sudah banyak mereka yang menikah dan membina keluarga. Banyak yang sukses dan berjaya. Tapi masih ada juga yang memegang kuat cerita tersebut. Raifah sekarang masih menunggu keputusan Bak untuk merestui pernikahannya dengan Sebong. Dalam do’a santun penuh pengharapan kepada-Nya untuk meluluhkan hati Bak.
(Ujung Februari teruntuk Civitas Akper Curup, Rejang Lebong Bengkulu)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Glosarrium
Luk mano : Bagaimana
Nga sapo apo masia : Dengan siapa, apa masih
Amun kaba ndak : Kalau kamu mau
Semendau : Pasangan yang ingin menikah keduanya sama-sama meminta persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.
Berasan : Musyawarah
Rasan semendau nidau belapik emas :  Pihak lelaki mengikuti cara adat wanita
Jemo : Orang
Asoku nido : Menurutku tidak
Agam  : Suka
Ngapo : Ada apa
Pelah : Ayo
Nyelah : Betul
Ngapo pulo : Ada Pula
Sekiro : Seandainya
Surat ulu : Tulisan/alat komunikasi suku Serawai
Amun luk : Kalau seperti itu
Dalaklah : Carilah
Bae : Saja
Batan : Bakal
Lum pacak : Belum bisa




Baca Juga

Related Posts

2 comment

Terima kasih sudah mampir dan komen di blog saya. Mohon tidak komentar SARA, Link Hidup. Semoga makin kece, sehat dan banyak rejeki ya. Aamiin