nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

{BukuKu} P e n d a p





 P e n d a p

Sudah hampir sepekan Emak terlihat berbeda. Kuperhatikan gerak-gerik Emak sepertinya ada yang sedang beliau pikirkan. Namun aku tak berani banyak bertanya dulu. Mungkin belum saatnya Emak memberitahukan kepadaku. Aku yakin esok lusa Emak akan  ceria kembali.

Kami berdua sama-sama janda, ditinggal meninggal suami. Emak hanya punya dua orang anak. Satu orang laki-laki abang aku.dan aku, anak bungsunya. Bak meninggal kejadiannya hampir sama dengan suamiku. Mereka meninggal ketika melaut di pantai Zakat . entahlah, aku kadang merasa Bak dan suamiku sangat berjodoh karena meninggal pun mereka di hari yang sama pada peristiwa yang sama pula, hehehe. Aku sekarang sudah bisa tersenyum jika menceritakan tentang meninggalnya mereka berdua. Karena waktu sudah berlalu, sedih itu sudah mulai terlarut, meski sepi tak pernah bisa terobati. 

Kenapa tersenyum, ya karena mereka akan saling menemani dan menguatkan bersama. Bak dan suamiku. Untuk membiayai kehidupan kami yang berempat. Alhamdulillah aku punya sepasang anak yang sudah sekolah di SMP dan SD. Sehari-hari aku dan emak membuat Pendap. Itu loh, kuliner khas Bengkulu yang mirip dengan masakan Pepes ikan. Terbuat dari daun Tembahang atau sering disebut juga daun Keladi. Rasanya agak pedas dan gurih. Pendap itu masakan serupa Pepes yang dikukus. Harga satu bungkus Pendap berkisar antara tujuh hingga sepuluh ribu rupiah. Tergantung besar kecilnya. Namun ada juga Pendap dengan ukuran kecil dijual senilai sepuluh ribu perbungkus. Biasanya itu tergantung dengan besar kecil dan jenis ikan yang dipakai. 

Usaha Emak membuat Pendap ini hampir lima tahun lebih tua dari usiaku. Tahun ini usiaku menjelang 35 tahun, alhamdulillah usaha Emak berjalan lanjar dan baik-baik saja. Walau kadang ada juga masa seretnya, ya biasalah dalam hukum orang berwirausaha. Kadang maju, kadang mundur. Namun badai selalu dapat kami lewati. Aku semenjak ditinggal suami, tak pernah berniat untuk menikah lagi. Ya, meniru Emak, hehehe. Meski hanya berjualan Pendap, alhamdulillah emak sudah pernah menunaikan ibadah haji. Di depan rumah kami juga sudah membuka usaha warung manisan, yang hasil penjualannya lumayan untuk membiayai sekolah anak-anak dan tambahan penghasilan kami. Untuk penjual pendap, nama Emak boleh dibilang nama  sudah sangat tersohor di lingkungan Pasar Bengkulu ini. Terkadang pembeli datang darimana-mana. Setiap hari ada sekitar dua puluh orang Ibu-ibu penjual gulai keliling yang juga menjualkan Pendap kami. Rata-rata mereka membawa sekitar 5-10 bungkus Pendap untuk dijajakan kepada pelanggan mereka. Bnayak juga yang memang sudah menjadi pesanan orang.

 Semua itu berkat Pendap, Emak memang tak pernah merubah cara memasak maupun adonan jualannya. Meski marak bahan pengawet untuk membuat masakan , Emak tak pernah goyah untuk menggunakannya. Lalu, untuk mengurangi bumbu, di pasar juga banyak tersedia bumbu siap saji dan siap pakai. Bahkan ada yang langsung diracik ditempat. Sekali lagi Emak tak pernah menggunakan pelayanan tersebut, biarlah sedikit lebih susah dan capek karena semua diurus sendiri. 

“Biarlah Ma, Emak agak litak membersihkan, menggiling bumbu-bumbu itu, daripada digiling di pasar. Kito idak tau cak mano prosesnya. Kalu ini kito tau nian cak mano prosesnyo, kurang lebihnyo”

Aku cuma mengangguk setuju, lagipula di rumah kami juga ada yang membantu. Jadi pekerjaan emak agak sedikit ringan.

Minggu depan pesanan Pendap Emak lumayan banyak. Ada tiga keluarga yang menggunakan Pendap  sebagai menu resepsi pernikahan anaknya. Di daerah Sawah Lebar, Pintu Batu dan Pondok Besi. Memang sekarang Pendap, tidak hanya disajikan untuk makanan keluarga. Namun sudah dihidangkan  di acara resmi di berbagai acara. Acara jamuan di rumah gubernuran dan pemerintahan pun sering pesan Pendap emak. Bahkan di restoran juga disajikan, mereka sudah menjadi langganan tetap emak.   
  
Hari hampir menjelang jam tiga sore, cik Zubedah dan Rodia datang mengantarkan daun Tembahang, itu daun bahan utama untuk membuat Pendap. Bentuknya serupa daun keladi atau talas. Tembahang dan keladi sama persis, aku saja yang sudah berpuluh tahun bergelut dengan daun itu belum bisa membedakannya. Menurut Cik Rodia yang membedakannya hanya kalau umbi talas atau keladi bisa dimakan orang dan daunnya juga enak digulai kalau Tembahang tidak. 

“dakdo orang  makan umbi Tembahang tuh Salma, lebih gatal dari keladi, mabuk katonyo!”  celoteh cik Rodia petang itu

Kami sedikitnya punya sepuluh orang yang memasok daun Tembahang. Setiap hari selalu ada yang mengantarkan daun itu ke rumah. Mereka menjualnya perkilo kepada kami.  yang diambil dari pohon tanaman Tembahang ini hanya daunnya saja, sedikitpun batangnya tak ada. Biasanya mereka memetik daunnya langsung dengan tangan atau bisa juga memakai lading kecil. Rata-rata perorang bisa menghasilkan sekitar 2-3 kilo daun perhari. 

Lalu ada juga Dang Burhan, Wak Jeli, Uncu Lino yang mengantarkan ikan Capa, ikan Aso-aso tidak banyak yang memasok karena bahan baku tersebut lumayan tersedia banyak dari laut. Hanya berjarak sekitar kurang  dua kilo meter dari rumah kami. Ikan yang didapat juga sangat segar karena langsung diambil dari kapal nelayan yang baru pulang melaut.. Begitu perahu merapat dan pukek mendarek, nelayan langsung mengumpulkan ikan terus dibawa ke tempat pelelangan ikan (TPI) di salurkan kepada pengempul , pedagang, pedagang pengampas ikan atau sisanya dijual sendiri di pinggir pantai. Ikannya segar sekali dan rasanya manis. Jauh dari bau formalin dan rasa es beku yang biasa kebanyakkan ikan yang dijual. Keempat jenis ikan itu bisa didapat setiap hari, meski jumlahnya bervariasi. 

Semua ikan itu bisa dipakai untuk bahan Pendap. Kalu aku paling suka makan Pendap dengan isi ikan Aso-aso. Ya, kalo makan ikannya bisa  serasa makan ayam, bisa juga serasa makan daging atau hanya sekedar serasa makan tahu dan tempe, hahaha.  Makanya  ikannya diberi nama ikan aso-aso karena rasa dagingnya bisa berubah-ubah sesuai dengan selera yang makan, hahaha. Ada-ada aja!

Ikan yang segar itu setelah dicuci bersih hanya diberi garam, lalu didiamkan saja di dalam nampan selama semalam di dapur. Ini salah satu langkah untuk permentasi ikan secara alami. Tak perlu memberi campuran bahan lain. Apalagi dibiarkan berhari-hari agar ikan menjadi busuk. Selama jualan Pendap kami tak pernah memakai ikan busuk seperti kebanyakkan orang jual. Ikan yang dipakai tetaplah segar dan terjamin mutunya.

Angin, pantai Zakat yang hanya berjarak sekita dua kilo dari dapur, berhembus sejuk. Sesekali terdengar dentuman ombak dari laut. Emak memandangi aku lama sekali, sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan. Menunggu waktu yang pas mungkin, pikirku. Aku seolah memberi isyarat kepada emak untuk beranjak duduk di beranda samping rumah saja. 

“Salma, cubo kau tenggok kerjo orang banyak ko kini. La ndak jam tigo petang. Belum ado nang ngantarkan daun Tembahang ke siko!” Emak mendesah

“memang kini kecek Rodiah la payah mencari daun tembahang tuh, kalu cak iko terus bisa mati usaha kito kelak Salma, apo kelanjutan hidup kito ko” 

Aku mendekat duduk pas di sebelah Emak,  memandang wajah wanita penuh perjuangan ini dengan seksama. Oh, ini yang menjadi tanda tanya aku beberapa hari ini, pasal daun Tembahang. 

“Emak, la ndak masuk Asar. Habis sembayang kelak, kito pai sebentar yo. Cari angin senjo siapo tau ado solusi.”

Aku beranjak ,sembari sepoi-sepoi angin membawa suara azan, kami bergegas memenuhi panggilan itu. Dalam salat aku berdoa, semoga kami menemukan solusi dari masalah yang dikuatirkan Emak.

Dengan kuda besi metik, aku mengajak Emak pelesiran petang ini. Sengaja aku memulai perjalanan dari pantai Zakat. Jalan merentas di belakang sekolah, kami turun sebentar. Aku mengajak Emak menepi. Tampak Emak memandang sekeliling dengan mata berpendar-pendar. Rawa yang hampir membanjir di sepanjang jalan ini mulai ditumbuhi banyak rumah-rumah. Entah untuk tempat tinggal atau untuk bisnis rumah makan atau tempat menjual hasil olahan ikan, hasil laut dan lain sebagainya.

“mana, tempek kau galak merenca di rawa ko dulu Salma ngambik daun Tembahang. Emak la idak ciren lagi. La berubah galo”

Aku menggeleng tertunduk , tak ingin mencoba menjawab pertanyaan Emak.. Berharap emak bisa menilai dan sejenak berpikir.

Kami melanjutkan perjalanan melewati daerah Kampung Kelawi terus melewati jembatan Pasar Bengkulu menuju daerah Rawa Makmur. Tidak begitu jauh dari jembatan aku kembali mengajak Emak menepi. Kali ini Emak tercenung kembali. Kutebak, pasti dia akan mempertanyakan hal yang sama dengan keadaan pantai Zakat tadi.

“ ya, Allah Salma, la jadi ruko kek rumah galo di sepanjang jalan ko kini.  Bagian belakangnyo jugo la penuh kek bangunan rumah. La  canggih nian orang kini la biso merubah rawa ko.

Lalu aku memutar motor kembali melewati jembatan Pasar Bengkulu lurus ke arah Kampung Bali, sampai di lampu merah. Aku banting stir langsung belok ke kiri, melalui jalan Sukamerindu. Lurus melaju terus belok kiri menuju daerah Tanjung Jaya.

ndak kemano lagi kito ko Salma?” 

kito ke Tanjung Jaya Mak, sampai kek  danau Dendam Tak Sudah, sebentar ajo.”

Sampai di Tanjung Jaya, kembali aku menepi. Kali ini Emak agak tersenyum. 

“ nah, masih ado sawah kek rawa Tembahang di siko dak Salma. Tapi Alangkah jauhnyo tobo Rodiah mencari sampai ke siko.

Aku mengajak Emak, duduk di sebuah warung di pinggir jalan. Lokasi warung ini seolah berada di atas rumah mereka. Iya, sejak berkali-kali terjadi banjir besar dan memutuskan jalur transportasi . Pemda provinsi Bengkulu akhirnya membangun jalan yang lumayan tinggi, seperti jembatan yang panjang. Bahkan ada yang bilang ini jalan tolnya Bengkulu. Iya tinggi jembatan ini hampir sama dengan tinggi rumah masyarakat disekitarnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari banjir. Penduduk di sepanjang jalan ini sudah sebagian besar merubah rumah mereka menjadi bertingkat.

 Kami duduk sebentar di warung sambil mengamati sekeliling . Emak  terjebak ngobrol dengan pemilik warung. Seru sekali!

“iyo Cik, kalo hujan penuh kek air sawah dan rawa ko, daun Tembahang terendam. Idak pulo orang berani ngambiknyo kalo bukan pas hari la surut. Batang Tembahang kadang la busuk pulo”

Emak mengangguk-angguk, entah apa yang dia pikirkan. Aku Cuma berharap ada pencerahan .Emak mulai paham dan mengerti kondisi yang terjadi sekarang . Matahari mulai meredup, siluet unggu hampir mengenai muka kami, sebentar lagi sudah mau masuk akhir batas sholat asar, kami bergegas.

Melewati jalur kiri kanan jalan danau Dendam Tak Sudah, sengaja aku tak menepi. Cukuplah Emak melihat keadaannya sepanjang jalan ini. Jalan yang dulu diapit dengan sawah dan rawa ini mulai berubah menjadi beton tak bertuan. Entah mau diapakan oleh mereka kawasan ini. Mungkin mau dikelolah untuk menjadi kawasan wisata. Mengingat eloknya pemandangan danau. Padahal air danau inilah yang menjadi salah satu sumber perairan dari sawah-sawah yang ada di sekitar sini. Danau ini  juga yang menjadi sumber penampungan air di daerah sekitarnya.

Orang-orang lebih suka menukar sawah mereka dengan bangunan, dengan alasan selain bisa dipakai sendiri untuk tempat tinggal, berdagang , bisa juga disewakan atau dikontrakkan dengan orang lain. Tak perlu lagi bersusah payah, apalagi berbecek-becek untuk menggarap sawah. Jika bersawah. Hasilnya juga belum bisa diprediksi bagus setiap saat. Apalagi sawah yang terletak langsung di bibir jalan hampir semua sudah beralih fungsi. Sudah mereka tukar tambah atau bangun bagi. Lumayan juga alasan mereka , hanya dengan menyediakan lahan, kita dibangunkan salah satu  ruko tanpa keluar uang, malah dapat uang lagi. Siapa yang tidak berminat, jadi sungguh malang nasib engkau wahai daun Tembahang.

Alhamdulillah magrib belum datang , kami sudah sampai di rumah. Sempat aku cek ke dapur, terlihat ada seberonang kecil Tembahang, cukuplah untuk jualan esok. Setelah mengaji dan mengawasi anakku belajar, aku mencoba mencari informasi di internet. Siapa tau ada informasi baru.

Ini adalah hari ke dua menjelang pesanan banyak Emak, daun Tembahang belum terkumpul. Dua pernikahan ini, lumayan untuk pemasukkan emak. Namun sampai hari ini daun Tembahang baru sedikit terkumpul. Jika dibuat paling bisa untuk memenuhi orderan satu hajatan pesta saja. Bagaimana Emak sudah terlanjur memenuhi pesanan tersebut. Kalau mau di tolak. Kasihan wali hajat.  Belum lagi satu keluarga yang mau pesan untuk hajatan Aqikah. Mereka pasti pusing juga mencari alternatifnya. Ini juga bisa membuat kepercayan orang terhadap Emak menurun.

Emak bolak-balik ke dapur, berkali-kali juga telponan dengan tobo cik Rodiah, hari la menjelang jam tiga sore. “belum ada solusi. Untuk pesta hari ahad ko , paling idak sabtu pagi bahan la siap galo.” Suara Emak lebih mirip dengan keluhan. Aku  terdiam di sudut kamar, sayup terdengar suara Emak.

Malam makan kali ini, emak hanya menyebtuh sedikit saja nasi. Lebih banyak berdiam dan mengganjal perut lapar itu dengan sepotong kue dan kopi yang tak hangat lagi. Acara televisi yang biasanya mampu membuat emak terkekeh tak dihiraukan. Emak duduk saja seolah menonton namun pikirannya menerawang. Sesekali anak-anakku melibatkan neneknya untuk berbicara, namun tak juga digubris. Dijawab pun hanya sekedarnya saja. Emak masih kalut pikirannya, itu yang bisa aku tebak. 

                           #############
Aku agak sibuk di dapur sendiri, sebentar lagi Pendap masak. Aku sedikit berlari sendiri menyelesaikan tugas masak ini seolah sudah ditunggu ratusan orang yang antre untuk makan. Waktu terasa seperti petir, cepat datang cepat menghilang.

Capek tak bisa kuukir, ingin segera pulang menemui Emak. Jalanan terasa macet seketika. Namun alhamdulillah sebelum Magrib mampir, aku sudah sampai di rumah.

Napasku masih tersenggal. ...

“Emak, dak usahlah lagi pusing mikirkan bahan untuk Pendap pesanan orang hari ahad ko kelak

Emak, menoleh sekejap, “ Ngapo Salma, kau la ketemu solusinyo!” Lalu Emak duduk di depanku sambil menunggu reaksiku.

“Itulah kau pai menghilang tadi, kemano ajo. Pergi dak ngecek, Emak pikir masih di dapur tadi “

Aku tersenyum, “ Tadi aku pai ke rumah orang hajatan  tuh Mak, mereka setuju dengan penawaran yang aku sampaikan. Cakmano lagi Mak, bahan lagi susah didapatkan. Kito harus nyari solusi biar tetap bisa jualan. Biar pesanan terus datang dan pelanggan idak kecewa” Emak menatapku bingung lalu tak berapa lama tersenyum manis, ya wajah itu setidaknya menjadi kekuatanku untuk yakin melangkah. Senyum itu pertanda restu Emak. 

Kusampaikan dengan Emak, bahwa tadi aku menemui tuan rumah yang mau hajatan tersebut sambil membawa contoh pendap racikakanku yang terbaru. Bahan Pendap yang selama ini selalu menggunakan bahan baku daun Tembahang, sudah aku ganti dengan menggunakan bahan baku daun singkong dan pepaya. Hasilnya setelah mereka menyicipi Pendap hasil buatanku tadi, mereka sepakat memakai ke dua bahan tersebut. Bahkan mereka juga memberikan masukakn. Ini akan menjadi salah satu pilihan orang. Bagi yang tidak berani makan daun Tembahang, tentu akan memilih daun singkong yang lebih banyak disukai semua orang atau daun pepaya yang juga tak kalah sedapnya. Harga yang kutawarkan kepada mereka pun agak sedikit lebih murah dan aku memberikan mereka bonus. Anggaplah sebagai bagian dari promosi. Bahan dan cara membuatnya sama persis dengan cara membuat Pendap dengan bahan baku daun Tembahang. Cuma diganti dengan bahan baku daun singkong dan pepaya. 

“Emak, cakmano kalo tanah kito yang di daerah Bentiring itu kito tanam daun Tembahang ajo. Biar biso kito panen daunnyo untuk Pendap. Kelak biar Salma ajo yang ngambik daunnyo. Dak usah tobo cik Rodia. Kalak dipinggirnyo biso kito tanam daun ubi kek pepaya jugo.”

Emak mengangguk dan memelukku. Hangat sekali, sehangat kasih sayang ibu yang selalu menyinari dalam hidupku. Emak sudah tak murung lagi sekarang. Aku berucap Alhamdulillah....

Memang dalam berdagang diperlukan juga kreatifitas apalagi jika bahan bakunya bersumber dari alam, bisa habis seketika karena kebutuhan manusia. Mungkin suatu saat nanti makanan Pendap ini hanya akan tinggal nama dan dikenang sebagian orang yang pernah sempat  mencicipinya karena lahan tempat tumbuh dan hidupnya sudah berganti dengan rumah dan pertokoan.
                                                                                     (Diawal langkah baru, 2013)

Glossarium
Cakmano
Biso
Kek
Jugo
Cik
Ajo





Baca Juga

Related Posts

0 comment

Terima kasih sudah mampir dan komen di blog saya. Mohon tidak komentar SARA, Link Hidup. Semoga makin kece, sehat dan banyak rejeki ya. Aamiin